Senin, 26 Maret 2012

Jung dan Freud : Perbedaan Analisis Konseling



Banyak yang mengulas tentang perbedaan teori Jung dan Freud, dari teori kepribadian, teori sifat manusia, hakikat ketaksadaran, dan lain-lain. Tapi mungkin belum lengkap bila kita belum mengetahui perbedaan utama teknik analisis masalahnya. Para praktisi konseling pasti tahu benar bahwa hal yang paling sulit dalam proses konseling adalah analisis masalah. Setelah prognosa dilakukan, maka dicarilah diagnosanya. Tapi apakah sesederhana itu? Kenyataannya lebih sulit dari teorinya. Pada pos sebelumnya, saya telah menyertakan teori ringkas tentang Psikologi Analitik Carl Jung. Jadi, untuk kali ini, saya akan langsung membahas tentang analisis masalah, baik dari pihak Freud dan juga Jung.

Kita mulai saja.

Analisis Masalah ala Sigmund Freud

Analisis masalah ala Freud memiliki beberapa ciri, yaitu :
  1. Berpusat pada libido. Mimpi dan segala simbol di dalamnya dikaitkan secara langsung dengan simbol-simbol seksual. Misalnya konseli A bermimpi melihat bangunan candi Hindu dan merasa takut dengannya, karena proposisi umum dalam Psikoanalisa adalah semuanya bergantung pada libido, maka candi Hindu tersebut diartikan sebagai simbol phallus, atau seks.
  2. teknik yang digunakan adalah teknik REDUKTIF, yaitu dengan mereduksi gejala-gejala neurosis klien/ konseli, lalu mendiagnosis hubungannya dengan kepribadian konseli, dan menulusurinya hingga ke sejarah masa lalu konseli .




Inilah ilustrasi konseling Psikoanalisa Freud








dengan teknik ini, klien dihadapkan pada masa lau, terkadang menyakitkan, tapi telah terbukti ampuh untuk bebrapa klien seperti Anna O.
Analisis Kasus ala Jung
  1. Analisis berpusat pada individuasi dan spiritualitas, Intinya, spiritualitas itu akan menyempurnakan proses konseli menjadi individu yang utuh dan berfungsi secara sempurna. Mimpi diartikan secara persepsi konseli, Misalnya Konseli A bermimpi tentang candi Hindhu, konselor/terapis berkewajiban bertanya tentang apa yang konseli rasakan ketika bermimpi tersebut, apakah senang, sedih, takut, cemas (bisa juga melihat reaksi dari mimik muka konseli ketika menceritakan hal itu) dan apakah simbol candi Hindu tersebut memiliki arti tersendiri bagi konseli, e.g : konseli A merasa bahwa ia takut melihat candi Hindu karena ia mengalami kejadian traumatis ketika pergi berwisata di candi Prambanan.
  2. bersifat KONSTRUKTIF, artinya analisisnya berusaha membangun individuasi dan rasa 'penuh' dalam psyche konseli, dengan cara berdiskusi, sehingga konseli memiliki pengetahuan yang lebih mendalam tentang dirinya.
Secara gampangnya begini, konseli itu diibaratkan punya buku yang memuat lengkap tentang dirinya, sejarahnya, dan juga bagaimana cara hidup konseli sesuai dengan kepribadiannya, maka tugas konselor/ terapis adalah membuka, mengajari konseli membaca simbol-simbol yang terdapat dalam buku itu.
Dalam analisis ala Jung, ketiga figur A, B dan C (Sejarah, Kepribadian dan neurosis konseli) itu bisa saling mempengaruhi. Jika yang ingin diubah adalah gejala dan perilaku neurosisnya, maka ubahlah sejarah dan kepribadiannya, yaitu dengan MEMBERI MAKNA pada setiap peristiwa yang terjadi dalam sejarah konseli.

Referensi :

Papadopoulos, R.K (editor). 2006. The Handbook of Jungian Psychology : Theory, Practice and Application. New York :Routledge Publishing